OLAHRAGA
(gambar dari http://foxsportsstories.com)
Kompetisi olahraga yang paling populer di dunia, Piala Dunia, sudah dimulai hari Kamis yang lalu, dengan Rusia sebagai tuan rumahnya tahun ini. Setidaknya setengah dari seluruh penduduk dunia akan menonton pertandingan Piala Dunia. Tiga puluh dua negara, tujuh ratus tiga puluh enam pemain, akan bertanding selama sebulan lamanya untuk memperebutkan gelar juara dunia sepakbola.
Olahraga, baik sebagai kompetisi maupun rekreasi, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peradaban manusia selama ribuan tahun lamanya. Namun tidak selalu olahraga memiliki makna yang sehat atau bahkan netral. Ajang gladiator, misalnya, merupakan salah satu kegiatan olahraga yang populer di kerajaan Romawi kuno, dimana orang-orang menikmati pertunjukan yang penuh kekerasan dan berakhir dengan kematian. Tidak jarang ajang ini juga digunakan sebagai sarana hukuman mati, dimana sang terpidana – termasuk juga budak yang melarikan diri ataupun umat Kristen mula-mula pada sekitar abad ke-2 atau 3 Masehi – akan dimasukkan ke dalam arena untuk dibunuh oleh hewan liar (damnatio ad bestias).
Atau gimnasium, tempat untuk berlatih olahraga dalam peradaban Yunani kuno, dimana setiap atlet yang berlatih di dalamnya akan berlatih dengan telanjang sebagai bentuk penghargaan atas keindahan tubuh manusia (gimnasium berasal dari kata gymnos yang berarti telanjang). Karena itu gimnasium menjadi salah satu kontroversi ketika kerajaan Yunani menjajah bangsa Israel di abad ke-2 SM, seperti yang dicatat dalam buku sejarah 1 Makabe. Raja saat itu, Antiokhus Epifanes, membangun sebuah gimnasium di Yerusalem yang mesti mengikuti kebiasaan di Yunani. Tidak sedikit orang Israel yang memilih untuk bergabung dengan kebiasaan bangsa Yunani ini dengan ikut berlatih di gimnasium, dan mereka dicap sebagai pengkhianat oleh rekan sebangsa mereka oleh karena dianggap telah melanggar perintah Allah dengan mempertontonkan tubuh mereka yang telanjang (bdk. 1 Mak 1:10-15).
Rasul Paulus sendiri beberapa kali menggunakan metafora dari pertandingan olahraga dalam surat-suratnya, seperti dari perlombaan lari maupun tinju (1 Kor 9:24-27). Ia juga menggarisbawahi sama seperti bagaimana tubuh kita perlu terus dilatih untuk tetap sehat, maka kehidupan rohani yang sehat pun bukanlah sesuatu yang bisa terjadi begitu saja secara instan, namun perlu dilatih secara berkelanjutan (1 Tim 4:7b-8). Kehidupan iman kita layaknya lari maraton yang membutuhkan waktu dan ketekunan yang panjang untuk mencapai garis akhir (bdk. 2 Tim 4:7) Karena, pada akhirnya, “seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara, apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga.” (2 Tim 2:5) Selamat berolahraga dan juga melatih diri kita dalam kesalehan! (SH)