GEMPA DAN IMAN
Gempa demi gempa mendera bumi pertiwi Indonesia. Pada bulan Juli dan Agustus yang lalu, gempa berkekuatan 6.9 SR mengguncang Lombok. Namun yang mengerikan ialah gempa susulan yang datang terus-menerus tidak kurang dari 400 gempa berikutnya membuat warga menderita secara fisik dan psikis. Kemudian pada bulan September, disusul gempa berkekuatan 7.4 SR yang terjadi di kepulauan Sulawesi daerah Donggala, Palu, Sigi, Tolitoli, Mamuju dan sekitarnya. Gempa ini memicu terjadinya tsunami setinggi 1.5 meter di tepi kota Palu. Banyak korban berjatuhan. Tua dan muda, miskin dan kaya tidak terkecuali. Baik korban yang tersapu air, maupun yang tertindih reruntuhan bangunan dan tertelan, terjepit patahan-patahan tanah, semuanya mengalami derita yang amat sangat. Saat ini, jumlah yang terdata sudah lebih dari 2000 orang. Belum pulih dari gempa sebelumnya, hari Kamis lalu (11 Oktober), gempa berkekuatan 6.4 SR menghantam Situbondo, Jawa Timur dan Bali. Pada hari yang sama juga dilangsungkan rapat tahunan IMF dan World Bank di Bali dan dilakukan penandatangan investasi bilateral antara Indonesia dengan Singapura. Tetapi tidak lama setelah itu, menyusul gempa 7.0 SR mengguncang daerah Papua Nugini. Ada apa dengan Indonesia?
Ada kelompok yang agak ekstrem mengaitkan musibah alam ini dengan alasan-alasan religius, misalnya karena ada tokoh agama tertentu yang dijadikan tersangka atau mengalami ketidakadilan, karena itu Indonesia didera gempa. Tetapi ada juga analisis yang baik. Kebanyakan pengamat akan menyatakan bahwa memang ini adalah akibat logis dari lokasi Indonesia yang terletak di atas “Pasific Ring of Fire” (Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik). Ini adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Tentu saja ini adalah pengamatan yang baik dan benar. Namun gempa, bukan hanya masalah fisik dan psikis, tetapi juga masalah hati.
Paul Tripp dalam tulisannya Suffering: Gospel Hope When Life Doesn’t Make Sense menyatakan, “Suffering is never just a matter of the body but is always also a matter of the heart. When you suffer, your heart is under attack. Suffering takes us to the borders of our faith. It leads us to think about things we’ve never thought about before and maybe even question things we thought were settled in our hearts.” Saya setuju dengan hal ini. Gempa dan berbagai penderitaan lainnya bukan hanya masalah fisik, ini juga menyerang hati; membawa kita kepada titik nadir yang paling lemah untuk kita bertanya dan mempertanyakan iman yang selama ini menjadi jangkar pengharapan hidup. Puji syukur pada Tuhan, kita memiliki iman yang tertanam pada diri Kristus yang telah mengalami penderitaan yang paling gelap, yaitu keterpisahan dengan Bapa karena menanggung dosa. Namun Ia menang dan bangkit dari maut. Ini menjadi kekuatan iman dan pengharapan kita bahwa “sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:4). (yj).