B U T A
by GPBB ·
B U T A
Dunia kembali berduka. Tiga orang menjadi korban serangan teroris di sebuah gereja di Nice, Perancis pada hari Kamis, 29 Oktober. Serangan ini masih lanjutan dari rangkaian balas-membalas sejak insiden di awal bulan Oktober di sebuah sekolah di Conflans-Sainte-Honorine, sebuah kota kecil di pinggiran Paris. Samuel Paty, seorang guru sekolah menengah di kota tersebut, menunjukkan kartun karikatur Muhammad dari majalah satir Charlie Hebdo (yang kerap mempublikasikan kartun karikatur berbagai agama, termasuk Yesus) sebagai bagian dari kelasnya untuk membahas kebebasan berekspresi. Sekitar seminggu kemudian ia dipenggal oleh seorang remaja berusia 18 tahun yang merasa bahwa Paty telah menista agamanya. Pembunuhan ini kemudian berbuntut panjang, dengan respon Presiden Perancis yang dianggap berlebihan dan kemudian diikuti oleh panggilan untuk memboikot produk Perancis dan akhirnya serangan teroris di Nice ini, dan entah sampai kapan balas-membalas ini masih akan terus berlanjut.
Hukum Taurat di Imamat 24:19-20 yang berbunyi “Apabila seorang membuat orang sesamanya bercacat, maka seperti yang telah dilakukannya, begitulah harus dilakukan kepadanya: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya” seringkali dijadikan acuan bahwa kita harus membalas seseorang setimpal dengan perbuatannya. Padahal hukum ini pada waktu itu adalah revolusioner di jamannya. Karena pada waktu itu adat yang berlaku adalah mata seorang ganti mata sekampung, yaitu, hukumannya tidak proporsional. Dengan kata lain, ‘mata ganti mata’ justru mencoba melampaui zamannya, yaitu bahwa kalau ada yang salah, biarlah ia saja yang menanggungnya, orang lain tidak perlu.
Tentunya, ruh di balik hukum ini lama-lama menjadi luntur, dan lama-kelamaan yang dilihat arti harafiahnya saja, yaitu kalau ada yang salah maka ia harus dibalas setimpal perbuatannya. Hal ini menjelaskan ucapan Yesus di Mat 5:38-42 yang mencoba mengingatkan orang Yahudi saat itu mengenai esensi dari hukum ini, bahwa mereka, ya, kita, harus bisa melampaui prinsip keadilan zamannya: “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Atau, seperti sebuah kutipan yang sering diatribusikan kepada Gandhi, “mata ganti mata dan seluruh dunia akan menjadi buta”, karena sesungguhnya balas-membalas tidak akan ada habisnya sampai kita sendiri yang akan menjadi habis olehnya. (SH)