BERSAKSI DALAM KEBENARAN
by GPBB ·
Ketika kembali ke Singapore dan mendarat di bandara Changi usai rangkaian kedukaan dan penghiburan keluarga, kami bertemu dengan sepasang orangtua yang anaknya pernah kami layani di Singapore. Kami bertegur sapa dan menanyakan kabar. Ternyata sang anak sebentar lagi akan melanjutkan kuliah di salah satu Universitas Kristen di Amerika Serikat. Kami mengungkapkan sukacita dan selamat untuk mereka.
Tentu saja kuliah di Universitas Kristen tidak serta-merta menjamin bahwa iman sang anak akan terus terpelihara di tengah gempuran media sosial dunia dan nilai-nilai hidup yang bertolak belakang dari nilai-nilai Kerajaan Allah. Namun, sang papa dan mama mengungkapkan bahwa paling tidak sang anak mendapat komunitas yang menjaga dan mendukungnya untuk terus bertumbuh bukan hanya dalam ilmu, tetapi juga dalam iman.
Saya dapat melihat betapa bahagianya kedua orangtua ini ketika tahu bahwa anak yang akan pergi jauh itu akan dikelilingi oleh komunitas yang mengasihi Tuhan dan firman-Nya, sebuah komunitas yang hidup dalam kebenaran. Saya percaya ini juga menjadi harapan dan sukacita para orangtua Kristen yang mengasihi Tuhan. Mereka ingin anak-anaknya berjalan dalam kebenaran. Inilah juga sukacita rasul Yohanes. Tidak heran ia mengatakan, “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3Yoh.1:4). Mengapa demikian?
Ini menjadi sukacita yang besar karena pada waktu itu (dan juga sekarang), tantangan untuk hidup dalam iman begitu sulit. Konteks pembaca surat Yohanes menunjukkan bahwa jemaat lokal yang tersebar di daerah Asia kecil mengalami dominasi kekuasaan Romawi. Kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan di bawah kekuasaan Romawi harus dibayar dengan sikap hidup yang mengkompromikan iman dan bahkan memuja kaisar sebagai anak Allah. Banyak dari jemaat yang bertahan dalam iman, walau ada juga yang akhirnya jatuh ke dalam godaan nilai-nilai hidup setempat.
Sekalipun berbeda waktu dan lokasi, tantangan iman bagi murid Kristus tetap sama, bahkan lebih lagi. Tentu, aniaya dan penyitaan properti tidak membayangi kehidupan Kristen di Singapore, tidak seperti yang dihadapi oleh gereja mula-mula di Asia kecil. Tetapi sekularisme (yang meniadakan nilai-nilai iman dalam ranah publik), hedonisme (yang meninggikan kenikmatan daripada kekudusan hidup), materialisme (yang mengutamakan uang dan kebendaan daripada iman), bahkan individualisme (yang mengutamakan kehidupan pribadi ketimbang nilai-nilai komunitas dan keluarga) agaknya masih menjadi tantangan. Di sinilah iman Kristen kita ditantang untuk bercahaya, bersaksi di tengah-tengah hiruk-pikuk keseharian. Ini panggilan setiap kita. Mari terus bersaksi dalam kebenaran (yj).
Image edited by IY