KESAKSIAN PASKAH 5 April 2015
Anak anak adalah berkat Tuhan yang sangat kami dambakan dan merupakan pribadi yang sangat berharga bagi kami. Berdasarkan ilmu kesehatan dan pemikiran logis saya, setelah menikah 2 tahun, seharusnya tanda adanya kehadiran bayi sudah dirasakan. Jika tidak, maka ada sesuatu yang salah. Saya berusaha untuk mencari solusinya. Itulah kebiasaan saya: kuatir berlebihan, kemudian “merasa mampu.” Untuk segala masalah biasanya saya cari pemecahan atau pertolongan kepada manusia dulu. Tuhan adalah cadangan bahkan sumber pertolongan terakhir dan itupun hanya untuk urusan rohani saja.
Tetapi itu dulu. Sekarang pola pikir saya telah berubah. Saya lebih bergantung pada Tuhan bukan pada apa yang ada di dunia. Beberapa peristiwa yang akhirnya mengubah pola pikir saya yang keliru itu,
- Peristiwa pertama adalah selama 3 tahun sebelum kehamilan pertama saya, saya mencoba berbagai upaya untuk dapat hamil, tetapi ternyata semuanya itu “mubazir.” Saya hamil secara alamiah berdasarkan waktu dan cara Tuhan bukan hasil dari berbagai upaya medis.
- Kehamilan kedua saya terjadi setelah anak pertama saya dibaptis (usia 5 tahun) Pembaptisan anak pada bulan Oktober dan saya hamil kedua pada bulan Nopember.
Kadang dalam hati dan pikiran saya seperti ada tuduhan “saya terlalu menyepelekan arti baptisan anak secara lahiriah, menunda-nunda karena malas dengan urusan administrasi gereja. Saya pikir yang penting saya tidak lupa mengenalkan anak saya pada Tuhan. Baptis nanti kalau ada kesempatan. Padahal saya berdoa sudah mirip seperti Hana, namun urusan baptis saja saya malas.
Dari 2 peristiwa inipun saya masih belum berubah, saya tidak bergantung sepenuhnya pada Tuhan untuk urusan sehari-hari. Tetapi, melalui anak anak kami, Tuhan mendidik saya yang terlalu bersandar pada pengertian dan kemampuan sendiri. Padahal kita hidup sangat bergantung sepenuhnya pada kemurahan dan Anugrah-Nya. Dia adalah I AM THAT I AM.
- Peristiwa ketiga adalah pada usia 20 bulan anak kedua kami, laki-laki belum juga bisa berbicara ditambah karakternya yang keras, lalu terdiagnosa sebagai anak autis. Hal ini terjadi karena saya yang sok tahu, saya mau mengecek kenapa ia belum bisa berbicara sementara 4 teman bermainnya yang juga laki sudah dapat mengucapkan beberapa kata. Anak kami terdiagnosa autis hanya melalui pengamatan 25 menit. Dan saya percaya itu. Hidup terasa sesak dan suram. Pendapat pihak lain yang memberikan pandangan lain bahwa masih terlalu dini untuk menilai anak saya, rasanya sulit saya percaya. Walaupun suami dan orang tua saya juga tidak yakin anak kami autis. Saya malah menuduh mereka tidak bisa menerima kenyataan. Padahal kalau dipikir sebenarnya mereka lebih tenang dan lebih beriman. Saya semakin larut dalam bayangan ketakutan dan kekuatiran, sampai suami saya menyarankan saya pergi ke psikolog. Firman Tuhan seolah-olah begitu jauh dalam hidup saya. Melalui peristiwa ini saya merasa Tuhan tidak diam, Dia tahu batas kekuatan saya. Saya merasakan pertolongan Tuhan melalui,
- Saya punya ayah seorang pendoa.
- Saya sangat emosional tetapi mendapatkan suami dan mertua yang sangat tenang dan memiliki sikap hidup “n`rimo” atau pasrah pada Tuhan.
- Teman-teman yang bertahan membesarkan anak autis, mereka malah semakin bertumbuh dalam Tuhan
- Sapaan Tuhan kepada saya melalui orang-orang di sekitar
- Tetangga seorang ibu 65 tahun yang boleh dikatakan orang Kristen baru, bisa berkata kepada saya dengan tenang, “Jangan takut, kan ada Tuhan Yesus, nanti mah yah nanti bagaimana Tuhan. Kamu bisa apa kalau kamu kuatir”.
- Ketika saya sedang sangat sedih dan sedang menenangkan diri sambil jalan jalan di pinggir danau, mendadak ada wanita separu baya menyapa saya, singkatnya dia mengingatkan saya akan berkat Tuhan dalam kehidupan saya, anak, suami, rumah, teman, kesehatan, orang tua dan apakah saya percaya Tuhan. Terus dia bilang “you are so bless by God with what God already give to you especially your 2 kids. You must be very thankfull to God and take good care them in God.” Lalu dia say bye bye.
- Masalah besar keempat adalah ketika anak pertama saya, 8.5 tahun tiba tiba penuh dengan ketakutan. Takut dari hal kecil sampai kepada isu Ebola dan apakah kalau dia mati Tuhan Yesus menerima dia sebagai anak Tuhan Yesus yang berkenan dihadapan-Nya (karena saya mengajarkan kalau kita meragukan Tuhan, Dia lebih sedih dan kita berdosa). Hal ini benar-benar mencemaskan buat saya. Kembali saya mencari pertolongan pada manusia dengan mencari psikolog dulu dan bukan berdoa atau mengaca pada diri sendiri, karena sebenarnya saya juga mirip anak saya yang tidak bisa mempercayai Tuhan 100% untuk urusan dunia.
Kali ini ibu saya berkata kamu harus berdoa sungguh-sungguh dan minta ampun sama Tuhan. Tuhan yang punya kehidupan anak-anakmu.
Ketika saya benar benar datang pada Tuhan dan mengaku dosa, saya menyadari kekuatiran saya memang jauh lebih besar dari pada iman saya. Kasih saya pada anak anak melebihi kasih saya pada Tuhan. Tapi Tuhan itu adalah I AM THAT I AM, Dia pakai semua kejelekan, kegagalan saya dan tantangan dalam membimbing anak anak supaya saya bisa tunduk dan belajar tentang-Nya. Sekarang saya belajar bergantung kepada Tuhan, dan bukan pada apa yang ada di dunia. Pelan-pelan saya dapat melihat perubahannya pada kehidupan kami. Rasanya hidup ini lebih bermakna jika kita berjalan bersama Tuhan daripada hidup penuh kekuatiran (NN)