Menjaga momentum dan menginternalisasi
by GPBB ·
Menjaga momentum dan menginternalisasi
Ada gejala umum yang terjadi pada hari raya nasional, budaya atau keagamaan. Secara komersial itu dijadikan momentum untuk marketing: menyiapkan barang-barang sesuai hari perayaan, diadakan diskon dalam rangka hari raya tersebut dan lain-lainnya.
Setiap hari raya tentu saja ada maknanya masing-masing. National Day dalam rangka merayakan dan mengingat hari jadi Singapore, sama seperti hari proklamasi di Indonesia. Hari raya Imlek untuk merayakan tahun baru dan karenanya menjadi momentum untuk beranjang-sana dan saling menyapa dengan saudara dan teman-teman yang Tionghoa. Demikian juga Natal, Idul Fitri dan hari raya lain-lainya.
Pertanyaan kritisnya adalah jika makna hari raya adalah hal-hal yang baik, mengapa kita tidak “merayakan” dan “menghayati”-nya tiap hari. Mengapa hanya pada saat hari rayanya saja? Hal ini yang diingatkan oleh ayat Alkitab: “Persembahkanlah tubuhmu …. Itu adalah ibadahmu yang sejati” (Rm 12:1). Memberikan persembahan bukan hanya pada hari tertentu, dengan kalimat “mempersembahkan tubuh” berarti mempersembahkan semua yang kita punya dan setiap saat! Inilah yang dimaksud menjaga momentum. Ayat lain yang mengindikasikan hal ini semacam ini adalah merenungkan Taurat siang dan malam (Yos 1:8; Mzm 1:2). Merenungkan bukan hanya waktu tertentu, hari tertentu tetapi setiap saat, yaitu “siang dan malam”.
Di minggu ini, ada yang sedang merayakan hari raya Imlek yang memohonkan selamat dan sejahtera (gong xi fa cai) di tahun yang baru. Bukankah selamat dan sejahtera di butuhkan setiap hari? Kaum muda mungkin merayakan hari Valentin, hari cinta kasih. Bukankah mestinya tiap hari ada kasih di antara setiap hubungan? Renungan hari ini sedang mau mengingatkan bahwa nilai-nilai yang ada dalam hari raya sudah seharusnya menjadi nilai-nilai dalam keseharian.
Bagaimana nilai-nilai tersebut bisa dihayati setiap hari? Hal ini bisa terjadi kalau nilai-nilai tersebut sudah terinternalisasi, sudah menjadi bagian dalam diri kita. Dan langkah awal untuk internalisasi adalah memahaminya secara berulang. Ini juga yang dimaksud dengan merenungkan Taurat siang dan malam, yaitu ada dimensi pengulangannya. Sama seperti Ul 6:7, dalam konteks orang tua mendidik anak-anak: “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu”. Supaya terjadi internalisasi. Karena itu jangan takut untuk pengulangan dalam pengajaran, dalam ibadah dan dalam melakukan ritual. Karena pengulangan akan menginternalisasi konsep dan perilaku. Selamat mengulang dan dan menjaga momentum keseharian. (djh)