PENCITRAAN
“Pencitraan”, kata ini biasa dipakai untuk menggambarkan tentang seseorang, khususnya pejabat pemerintahan, yang berusaha membangun citra tertentu tentang dirinya. Buruknya, citra tersebut seringkali berbeda dengan kepribadian asli sang pejabat. Karenanya konotasi kata “pencitraan” ini cenderung negatif. Tapi kalau mau jujur, kita semua, dalam skala dan cara yang tentunya berbeda-beda, juga melakukan pencitraan. Kepada rekan kerja, orang tua, anak-anak, teman gereja, pendeta, dan yang lainnya, kita akan biasanya menampilkan citra tertentu.
Secara sederhana ada dua alasan seseorang melakukan pencitraan: 1) internal: ada aspek dirinya yang memalukan sehingga disembunyikan, 2) eksternal: ada harapan dari orang-orang yang ingin ia tunjukkan demi penerimaan. Mari kita bahas kedua alasan ini satu-persatu.
Yang pertama, meski manusia berdosa, masih ada hati nurani yang mengingatkan akan kelemahan dan keberdosaan kita. Menyadari hal ini, respon natural kita adalah malu dan berusaha menutupinya sehingga orang lain tidak tahu. Ini yang ditunjukkan oleh Adam dan Hawa tepat setelah mereka berdosa pertama kali, lalu bersembunyi dari Allah (Kejadian 3). Tapi Injil memanggil kita untuk tidak lagi bersembunyi, melainkan bertobat dan membuka diri kita untuk mengalami pembaharuan budi oleh Roh Kudus (Roma 12:2). Proses ini membutuhkan keterbukaan dengan komunitas saudara seiman yang akan membantu kita untuk berubah.
Yang kedua, kita semua memiliki harapan-harapan tertentu akan orang lain. Masalahnya, seringkali cara penilaian kita salah. Kisah tentang Raja Saul dan Raja Daud menggambarkan dengan jelas perbedaan antara penilaian Tuhan dengan manusia. Raja Saul berbadan tinggi gagah dan dikagumi orang-orang (1 Samuel 10:23-24), tapi hatinya tidak setia sehingga Tuhan menolaknya (1 Samuel 15:26). Sebaliknya, Raja Daud tampangnya elok dan adalah anak bungsu, sehingga tidak ada yang terpikir untuk menjadikannya raja (1 Samuel 16). Tapi Tuhan memilihnya karena hatinya (1 Samuel 16:7). Dari pembahasan ini, kita perlu memeriksa apakah kita sudah menilai orang sesuai nilai-nilai yang Tuhan pakai? Ataukah kita terhanyut arus dunia, menilai orang dengan penilaian yang memakai standar penilaian yang sebetulnya tidak penting bagi Allah? (ALS)