Sebuah Kesaksian: Love People, Point People to God & Be Forgotten
Pergumulan menjalani hidup sebagai orang Kristen dan pelayan Kristus tercakup dalam pernyataan diatas. Kalimat tsb tercetus bukan dalam konteks sentimentil, tetapi ditengah proses pergumulan mencari arti menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu. Pergumulan ini mencapai klimaks di tahun ketiga ketika saya belajar di Singapore Bible College. Pada tahun terakhir di sekolah Alkitab tsb, saya masih belum tahu kemana dan apa panggilan spesifik yang Tuhan Allah mau saya kerjakan. Saya bersyukur karena mata kuliah “Pastoral Theology” akhirnya menjadi fasilitas terutama tercetusnya keyakinan pelayanan.
Love People atau mengasihi umat Tuhan adalah hal yang tidak mungkin terjadi tanpa saya terus belajar menyatu dengan Yesus, Firman. Tanpa keintiman dengan Allah, Gembala Agung Pemilik umatNya, apapun yang saya kerjakan hanyalah sebuah kesia-siaan. Jadi mengasihi umat Tuhan adalah proses yang akan terus terjadi.
Pointing People to God atau mengarahkan umat kepada Tuhan adalah objektif atau tujuan utama dari mengasihi. Saya tidak mau terjebak dengan ide generik mengasihi yaitu mengikuti semua kemauan orang atau manusia. Singkatnya, saya mengasihi bukan untuk menjadi people-pleaser pastor. Saya mengasihi supaya umat sungguh-sungguh fokus pada Allah sumber segalanya.
Be Forgotten berarti bukan saya yang terutama, seperti yang diucapkan oleh Yohanes Pembaptis di Yohanes 3:30 “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”.
Saya sangat menyadari bahwa ketiga aspek ini sangat sulit, sebab mayoritas hamba Tuhan hidup seperti dalam sebuah akuarium. Namun karena slogan pelayanan tsb bukan semata-mata berasal dari pikiran seorang manusia, saya perlu berupaya menghidupinya dari waktu ke waktu, dari satu ladang ke ladang pelayanan lainnya. Yang pasti proses menghidupi keyakinan bagaimana seharusnya saya melayani yang ditangkap lewat slogan tsb hanya bisa terjadi jika saya terus mengutamakan Kristus dan menyangkal diri.
Ketika saya mendapat dan membaca perenungan dari Rev Dr Timothy Keller – “The Freedom of Self-Forgetfulness”, keyakinan saya makin kokoh bahwa slogan pelayanan tsb adalah kehendak Tuhan bagi saya. Mengutamakan Kristus dan menyangkal diri bisa terjadi jika (1) saya mewaspadai aspek ego atau harga diri (pride) dan (2) saya mengalami transformasi dalam memandang diri sendiri. Keyakinan “Love People, Point People to God and Be Forgotten” menjadi pengingat bagi saya secara terus menerus selama hidup akan kedua aspek diatas. Mewaspadai aspek ego sangatlah krusial karena ego manusia pada dasarnya: [a] kosong (ego = inflated pride, swollen), [b] menyakitkan (seperti perut yang bengkak menimbulkan sakit), [c] sibuk mengejar prestasi demi mengalahkan orang lain dan terakhir natur ego [d] sangatlah rapuh (fragile). Transformasi dalam memandang diri merupakan antidote mengatasi ego yang menggelembung. Rev Keller mengingatkan bahwa penghayatan akan siapa Pemilik diri kita akan membantu pembentukan kerendahan hati berdasarkan injil (true gospel humility). Itu yang dibutuhkan dan kerendahan hati demikian yang akan terus saya kejar dalam kehidupan serta pelayanan yang Tuhan percayakan. (Pdt. Budianto Lim)