SENGSARA MEMBAWA NIKMAT
Judul diatas adalah judul sebuah roman karya Tulis Sutan Sati, terbitan Balai Pustaka 1928. Tanpa alur cerita berbelit-belit, latar belakang dan permasalahan yang sederhana, novel ini ingin menggambarkan sebuah hegemoni kekuasaan yang mewarnai kehidupan masyarakat Minangkabau pada zamannya. Walaupun merupakan sastra lama, yang dulu waktu saya SD cuma disuruh menghafal nama pengarang dan judul karyanya, tetapi ternyata cerita yang tersaji begitu memikat dan enak untuk dibaca.
Secara singkat roman ini bercerita tentang Midun dan Kacak, dua orang muda yang saling bermusuhan. Midun adalah seorang miskin, tetapi santun, baik hati, berbudi luhur dan disenangi tua dan muda. Sedangkan Kacak karena kaya dan kemenakan Tuanku Laras, seorang pejabat penghulu kampung maka ia menjadi sombong.
Kacak selalu mencari kesempatan untuk menghancurkan Midun. Suatu ketika Pa Inuh (pamannya Kacak yang hilang ingatan) membawa pisau dan mengamuk di pasar. Midun bermaksud menolong tetapi pisau pak Inuh melukai dirinya sendiri. Kacak merasa tidak terima. Ia memfitnah Midun dan melaporkan kepada Tuanku Laras hingga Midun dihukum bekerja rodi selama enam hari. Kebencian Kacak kepada Midun semakin manjadi-jadi. Ia membayar Lenggang (pembunuh bayaran) untuk membunuh Midun pada saat perhelatan pasar malam dan pacuan kuda di Bukittinggi. Namun, usaha tersebut gagal tetapi berakhir dengan dipenjaranya Midun dan diasingkan ke Padang selama enam bulan.
Setelah masa hukumannya usai, Midun mencoba menolong Halimah yang dikenalnya saat menjalani hukuman. Halimah yang jiwanya terancam, meminta Midun untuk mengantarkannya ke Jawa. Sebuah petualangan hidup akhirnya dijalani Midun dengan sukses sampai akhirnya ia diangkat menjadi menteri polisi dan kemudian menikah dengan Halimah. Singkat cerita akhirnya Midun bisa kembali ke kampung halamannya dan diangkat menjadi penghulu kampung.
Walaupun akhir cerita ini mudah ditebak, tetapi amat terasa pesan moral yang mau disampaikan oleh Tulis Sutan Sati. Midun yang berulang kali dicelakai, diancam, hendak dibunuh dll tetapi ia tetap tidak membalas dendam. Ia sama sekali tidak berpikir untuk membalas semua kejahatan yang ditimpakan kepadanya. Walaupun ia sudah menjadi pejabat kampung tetapi ia tetap santun, berbudi luhur, baik hati sama seperti Midun yang dulu miskin. Tepatlah judul novel ini ”Sengsara membawa Nikmat.” Sebelum merasakan nikmat, Midun melewati banyak sengsara.
Dua pelajaran buat kita di minggu-minggu Prapaskah ini. Pertama, barangkali kita sedang difitnah, dizolimi atau ditipu oleh teman-teman kita, ingatlah, Kristus sudah mengalami jauh lebih berat daripada yang kita alami. Namun, Kristus tidak membalas, Midunpun demikian. Maka janganlah pernah berencana untuk membalas dan apalagi menyimpan dendam. Kalimat pertama dari tujuh perkataan Yesus Kristus ketika Ia disalib adalah, ”Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” (Lukas 23:34) Yesus tidak berkata mengutuk mereka. Kedua, ketika jaman kini banyak orang tidak mau melewati susah, mau cari gampangnya doang, tidak mau melewati proses perjuangan, maka novel ini menjadi relevan untuk dihayati. Mari kita berani masuk ke dalam proses kehidupan. Jangan pernah hanya mau menerima enak dan nikmat saja tanpa berani melewati sengsara, perjuangan dan air mata. Jauh lebih baik ”Sengsara Membawa Nikmat” daripada ”Nikmat Membawa Sengsara.” (J.Th)