Tanah yang Kudus
Setiap tahunnya, jutaan umat Muslim akan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Mekah dipercaya sebagai tempat dimana Muhamad menerima wahyu Al-Qur’an untuk pertama kalinya, dan dianggap sebagai tempat yang paling suci di dalam agama Islam. Jutaan umat Kristiani mengunjungi Israel dan Palestina untuk melihat sendiri lokasi peristiwa-peristiwa di dalam Alkitab, terutama yang berhubungan dengan kehidupan Yesus; tempat Ia dilahirkan, mati, dan dikuburkan sekarang menjadi tempat ziarah yang populer. Umat Katolik Roma juga memiliki tempat-tempat devosi Maria yang ramai dikunjungi orang, yaitu tempat dimana dipercaya Maria menampakkan diri di sana, seperti Lourdes di Perancis dan Fatima di Portugal. Ziarah tidak hanya milik kaum beragama. Stadion sebuah klub sepakbola dapat diibaratkan sebagai sebuah ‘katedral’ bagi para fansnya, dan tidak sedikit yang membela-bela diri untuk bisa ber-‘ziarah’ ke sana. Ziarah diasosiasikan dengan tempat yang kudus, yaitu tempat dimana batas-batas antara dimensi surgawi dengan duniawi tersingkap untuk sementara dan seorang dapat mengalami perjumpaan ilahi disana.
Pengalaman inilah yang dialami oleh Musa di gunung Horeb, satu hari ketika ia sedang menggiring kambing dombanya di sana. Malaikat Tuhan menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Anehnya, semak duri itu tidak terbakar meskipun ia menyala. Musa pun memeriksa penglihatan yang ajaib ini. Dan, dari sanalah Tuhan berfirman kepadanya, “Musa, Musa! Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus!” (Kel 3:5) Tempat yang kudus membutuhkan respon yang pantas, yang sesuai dengan kekudusan tempat tersebut.
Kita yang berasal dari tradisi Protestan pada umumnya tidak terlalu menghiraukan pembedaan antara tempat yang ‘kudus’ dengan tempat yang ‘tidak kudus’. Kita meyakini bahwa Allah adalah Raja atas seluruh alam semesta, dan karena itu seluruh pelosok bumi ini penuh dengan kekudusan dan kemuliaanNya. Desain tempat ibadah kita pun merefleksikan kepercayaan ini, yaitu yang cenderung lebih bersifat fungsional ketimbang berusaha memberikan impresi akan kehadiran Allah di tempat ini. Namun jangan sampai yang terjadi malah sebaliknya. Jangan sampai kita malah meremehkan aspek kekudusan Allah ketika kita datang untuk beribadah. Marilah kita lebih menghargai bahwa kita sedang datang ke tempat yang kudus, tempat dimana Allah akan berjumpa dengan dan menyapa kita. Marilah kita memberikan respon yang sepantasnya, yang sesuai dengan kekudusan Allah yang hadir di tempat ini. (SH)