UNGKAPAN CINTA TANPA KATA-KATA
Belajar dari pengalaman masa kecil, aku mencoba mengubah kebiasaan dalam membina hubungan dengan kedua anakku. Kalau sebelumnya, aku selalu menyapa anak-anakku sebelum mereka tidur dengan kata: “good night,” tetapi kini, aku mulai membiasakan menambah kata “I Love You” sesudah kata “good night” lalu kemudian memeluk dan mencium mereka satu persatu. Merekapun, kemudian membalas aku dengan hal yang sama.
Kadang aku ragu dan bertanya pada diriku sendiri, apakah kebiasaan yang aku lakukan sudah benar dan dimengerti oleh mereka. Itulah sebabnya aku bertanya: “Apakah kalian tahu arti I Love You?” “Tidak!” jawab mereka. Akupun menjelaskan kepada mereka bahwa kalimat itu berarti: “Mami sayang kamu.” Jujur, aku merasa penting untuk mengungkapkan tiga kata itu secara verbal dan aku ingin pula mereka mengerti bahwa tindakan dan ucapanku itu adalah tanda aku sungguh-sungguh menyayangi mereka.
Karena kesibukanku membantu suami dalam usaha keluarga, waktuku untuk anak-anak menjadi terbatas. Akibatnya, aku mempercayakan pengurusan mereka kepada seorang baby sitter sejak anakku yang kedua berusia 3 bulan. Maka, tidaklah heran jika baby sitter menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aku sebagai ibunya.
Suatu malam sehabis makan malam, ketika anak-anakku telah siap untuk tidur, tiba-tiba aku ingin sekali menemani anak-anakku. Aku masuk ke kamar dan melihat baby sitter berada di samping anak-anakku. Dengan berbisik aku meminta baby sitter untuk bangun dan aku langsung berbaring di samping anak-anakku di posisi baby sitter tadi. Tiba-tiba, mendadak, anakku yang paling kecil langsung menangis tersedu-sedu. “Ada apa Ben, kok nangis?” tanyaku dengan lembut. Tetapi, dia tetap tersedu-sedu, diam seribu bahasa dan mencoba tidur tanpa menghiraukanku.” Aku benar-benar kaget, kecewa, sakit hati dan marah karena merasa ditolak oleh anakku, darah dagingku sendiri. Bahkan ketika ayahnya ingin mendekatinya, aku katakan: “Jangan dekat, dia tidak mau ditemani oleh kita.” Aku bergumul, apakah aku biarkan Ben tidur tanpa aku tahu sebabnya kenapa ia menangis atau aku cegah ia tertidur dan kutanya mengapa ia menangis -walau nampak ia sudah sangat ngantuk- Aku berdoa, “Tuhan, tolong berikan hambaMu petunjuk.”
Dengan memberanikan diri, aku cegah anakku tidur. “Ben, kamu tidak boleh tidur sebelum beritahu kenapa kamu menangis, mami sayang kamu dan cuma mau temani kamu tidur. Tetapi, jika kamu tidak mau, yah ngak apa-apa, mami akan panggil suster untuk temani kamu lagi.” Bukan jawaban yang kuperoleh malah tangisan yang semakin menjadi-jadi. Namun, perlahan-lahan, ia mulai mendekatiku. Kembali kusapa dia, “Jika kamu sayang mami dan ingin mami temani kamu tidur, peluk mami! Luar biasa, dia memeluk aku erat-erat. Malam itu kami berdua berpelukan sambil menangis sejadi-jadinya. “Mami sangat sayang kamu, Ben.” begitu kukatakan sambil terus memeluknya. Kami berdoa bersama: “Syukur kepadaMu, ya Bapa, terima kasih.”
Aku temukan jawaban indah, ternyata bukan dia tidak mau kutemani, juga bukan dia tidak sayang kepadaku. Anakku menangis karena terharu aku mau menemaninya. “Oh, Tuhan ampuni aku yang sudah menuduh yang bukan-bukan terhadap anakku.” Kini, aku lebih yakin, anak-anakku juga mencintaiku sama seperti aku mencintainya. (Joshua-Devi Lim, keluarga di Jakarta seperti diceritakan kepada Joseph Theo)