YUSUF, AYAH YANG BERHIKMAT
(image dari http://www.tellthelordthankyou.com)
Peristiwa natal tidak dapat dilepaskan dari figur Yusuf sebagai seorang ayah dalam narasi nativity. Penulis Injil menggambarkan Yusuf sebagai seorang yang sederhana, seorang tukang kayu. Ia juga digambarkan sebagai seorang laki-laki yang “tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum.” (Mat.1:19). Yusuf adalah seorang gentleman! Tetapi dalam perikop ini, Yusuf digambarkan sebagai ayah yang penuh hikmat. Ketika Herodes sudah mengamuk karena merasa diperdaya oleh orang majus, ia memerintahkan untuk membunuh semua anak yang berumur dua tahun ke bawah di daerah Betlehem dan sekitarnya (Mat.2:16). Dalam hal apa saja hikmat Yusuf diwujudkan pada momen kritis ini?
Pertama, Yusuf memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan. Ini ditandai dengan kemampuan untuk mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan. Tuhan berkenan berbicara kepadanya dalam mimpi: “Bangunlah, ambillah anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (ay.13). Yusuf langsung tahu bahwa ini adalah kehendak Tuhan. Hal ini tidak semudah kelihatannya karena pada waktu itu, Yusuf hidup dalam abad kegelapan di mana firman Tuhan tidak pernah datang lagi kepada manusia. Tidak ada nabi yang menyampaikan suara Tuhan. Dan ini terjadi sepanjang 400 tahun. Firman Tuhan pada waktu itu hanya terjadi pada peristiwa salam Gabriel kepada Maria, penampakan kepada para gembala dan peristiwa mimpi. Selebihnya, kehidupan orang Israel pada waktu itu adalah seputar politik, bagaimana mengatur strategi supaya bebas dari penjajahan Romawi; ekonomi, bagaimana supaya tetap bisa cukup makan; sosial, bagaimana supaya keluarga tetap dapat berkumpul dan saling menjaga. Singkatnya, dapat dikatakan, Tuhan tidak ada dalam pembicaraan sehari-hari Israel. Tidak ada obrolan rohani dalam pembicaraan umum. Kehidupan mereka sangat sekuler. Tetapi di tengah kehidupan yang sekuler sekalipun, Yusuf dapat mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan karena ia dekat dengan Tuhan. Ini sumber hikmatnya.
Kedua, Yusuf memiliki ketaatan kepada Tuhan. Ini ditandai dengan kemauan untuk rela mengikuti kehendak Tuhan. Ketaatan Yusuf ditandai dengan tiga kata kerja: “bangunlah”, “diambilnya Anak itu serta ibu-Nya”, “lalu menyingkir ke Mesir” (ay.14). Semua ini dilakukannya “pada malam itu juga” (ay.14). Yusuf tidak menunda-nunda kehendak Tuhan dalam hidupnya. Ia taat kepada Tuhan karena ia mengasihi Maria, bayi Yesus yang waktu itu masih berusia kira-kira dua tahun, dan terlebih lagi, ia mengasihi Tuhan Allahnya dengan segenap hatinya. Tuhan Yesus mengingatkan kita: “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” (Yoh.14:15).
Yusuf mungkin adalah seorang ayah yang sederhana. Tetapi ia ayah yang penuh hikmat karena ia dekat dengan Tuhan dan ia taat pada apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidupnya. Kiranya teladan Yusuf ini menginspirasi kita untuk senantiasa dekat dengan Tuhan dan taat kepada-Nya. Saya percaya kebenaran ini berlaku bukan hanya bagi para ayah, tetapi juga ibu dan setiap kita sebagai anak-anak Tuhan (YJ).