Bersaksi di dalam Keluarga
Saya dilahirkan di keluarga berlatar belakang kepercayaan Khonghucu, tapi sudah diajak tante ke sekolah minggu sejak kecil. Papa mengijinkan saya dan adik beribadah di gereja, dengan kondisi tante tetap menghormati kepercayaan dia dan mama. Tante kadang suka mengajak papa ke gereja waktu natal dan paskah, dengan iming2 ada perayaan, pertunjukkan drama & makan malam. Lama – kelamaan, keikutsertaan papa mama di kedua perayaan ini menjadi rutin. Kadang di acara ulang tahun gereja atau hari ibu – mereka pun mulai ikut.
Saya menerima Tuhan saat mengikuti KKR di salah satu retreat sekolah minggu. Sejak itu, saya dan adik mulai mendoakan papa mama supaya membuka hati. Kadang dalam pembicaraan, saya mulai menangkap perbedaan pandangan orang tua dengan nilai2 Kristiani. Hanya, saya tidak berani mengutarakan pendapat, apalagi membagikan injil.
Dalam kurun waktu yang tidak pendek, papa mulai menunjukkan perubahan sedikit demi sedikit. Mulai dari “Bagaimana sih orang Kristen, kok bisanya cuma menjelek – jelekkan agama lain”, menjadi “Sebetulnya tidak semua pembicara mengkritik, ada juga yang bisa menghormati agama lain”; “Sebetulnya gak ada salahnya ke gereja… Walaupun beda kepercayaan, setidaknya masih bisa dengar – dengar pandangan orang lain, belajar dari pengalaman hidup mereka. Hitung – hitung seperti datang ke seminar pengembangan diri”; “Sebetulnya kalian ikut sekolah minggu bagus juga. Lain kali kalau sudah punya anak, boleh dibawa ke sekolah minggu”; “ Cari pasangan hidup yang dari gereja juga boleh”.
Setiap kali mendengar komen di atas, saya bukannya mengucap syukur atas pekerjaan Roh Kudus, malah menggerutu di dalam hati. “Bagaimana sih, kok yang ditangkap malah lelucon nya, bukan pesan mimbar”; “Kok malah ngomongin orang lain (cucu) supaya datang ke gereja, bukan diri sendiri”; ”Kok yang ditangkap setiap kali hanya pesan moralnya saja”; “Kok seolah – olah mau ke gereja atau ke kelenteng pun sama saja..”
Papa saya ada satu kerinduan supaya saya bisa sekolah di luar negeri. Di tahun terakhir SMP, saya didaftarkan ikut ujian beasiswa masuk secondary school di Singapura. Papa sempat sedih saat saya gagal di babak interview. Ketika mencoba kedua kalinya, papa berkata kalau saya berhasil lulus, papa akan ke gereja setiap minggu. Pada akhirnya saya lulus, tetapi papa tidak menepati janjinya. Dan saya pun tidak berani meminta.
Saat masuk Junior College, saya mulai melihat bahwa saya harus memainkan peranan yang lebih aktif dalam membagikan kesaksian. Saya belajar berdoa supaya Tuhan pakai saya juga, bukan sekedar mengirimkan orang2 untuk papa mama. Setiap kali pulang Jakarta, saya bergumul dengan rasa sungkan. Pernah suatu kali kami sekeluarga diundang ikut perayaan Natal di gereja yang berbeda denominasi.
Saya kaget sekali ketika… (bersambung, Anonim)