Doksologi
Paul Kanalithi adalah seorang dokter yang baru saja menyelesaikan rangkaian training-nya sebagai seorang ahli bedah otak. Beberapa bulan kemudian, ia didiagnosa mengidap sakit kanker paru-paru stadium IV. Seketika itu juga, hidupnya berubah total. Ia sekarang melihat penyakit bukan sebagai seorang dokter, namun sebagai seorang pasien. Ia memandang kehidupan dan kematian bukan lagi dari sudut pandang saintifik, namun sebagai orang yang sebentar lagi akan mengalami kematian itu sendiri. Hidup tidak lagi diukur dari fungsi biologisnya (apakah jantungnya masih berdetak? apakah otaknya masih bekerja?), namun dari bagaimanakah kita menjalani hidup yang ber-‘makna’ itu sendiri. What makes life really matter? Ia pun menuangkan perubahan perspektif hidupnya ini ke dalam sebuah buku, When Breath Becomes Air, yang berhasil ia selesaikan sebelum akhirnya ia meninggal dunia oleh karena kankernya ini pada bulan Maret 2015.
Perubahan perspektif ini juga dapat kita lihat di dalam pengalaman hidup C. S. Lewis. Lewis adalah seorang intelektual Kristen yang menulis banyak buku. Di dalam salah satu bukunya, The Problem of Pain, Lewis berusaha menjelaskan secara intelektual dan filosofis bagaimana kita tetap bisa memercayai Tuhan di tengah dunia yang penuh dengan penderitaan, sengsara, dan kematian. Dua puluh tahun kemudian, Lewis menulis buku dengan tema yang serupa, namun dari perspektif yang sepenuhnya berbeda. Buku ini berjudul A Grief Observed, yang ia tulis setelah istrinya meninggal dunia. Di dalam buku ini, Lewis meluapkan perasaan dukanya setelah ia ditinggal oleh istrinya. Penderitaan bukan lagi sekedar teori bagi Lewis, namun sekarang telah menjadi realita yang pahit yang ia mesti jalani. Jika di dalam The Problem of Pain Lewis terkesan lebih yakin dengan imannya, maka di A Grief Observed kita menemukan bagaimana Lewis sendiri mempertanyakan keadilan Tuhan di tengah duka cita yang ia alami.
Serupa dengan itu, ada bedanya pula antara ‘tahu tentang Allah’ dan ‘mengenal Allah’ itu sendiri. Pengenalan akan Allah mengandung makna yang relasional. Allah bukanlah teori yang bisa kita pelajari dan tekuni, namun Pribadi yang perlu kita kenal. Allah bukanlah objek pengetahuan kita, namun Sang Subjek yang bahkan telah jauh mengenal kita terlebih dahulu sebelum kita mengenalNya. Dengan kata lain, teologi (pengenalan kita tentang Allah) mestilah bermuara kepada doksologi, yaitu puji dan sembah kepada Allah, Ia yang satu-satunya yang layak untuk dipuji dan disembah. Terpujilah Allah! (SH)