SURAT
Ketika kita membaca sebuah surat, sebenarnya kita sedang mendengarkan percakapan orang lain. Dan, mungkin kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi surat tersebut, berbeda dengan bagaimana sekarang kita membaca email yang lengkap dengan jejak-jejak email sebelumnya. Kita hanya bisa menebak-nebak apa latar belakang dari surat tersebut dengan mencari petunjuk-petunjuk dari isinya. Terkadang sang penulis surat memang menulis secara eksplisit mengapa ia menulis surat tersebut, namun terkadang tidak. Karena itu, penting bagi kita untuk mencari petunjuk mengenai latar belakang sebuah surat sebelum mencoba mengartikannya, supaya tidak ‘salah sambung’, ujug-ujug ikut campur percakapan orang lain tapi tidak tahu duduk permasalahannya.
Hal ini berlaku pula ketika kita membaca surat-surat dari rasul Paulus. Ada kalanya Paulus menulis secara jelas mengapa ia menuliskan suratnya, misalnya surat kepada jemaat di Korintus yang menanggapi surat dari jemaat di Korintus sendiri (1 Kor 7:1) dan juga laporan dari keluarga Kloe (1 Kor 1:11) mengenai perpecahan dan berbagai masalah yang terjadi dalam jemaat Korintus.
Bagaimana dengan surat kepada jemaat di Roma? Ada beberapa petunjuk yang dapat kita perhatikan, misalnya, bahwa Paulus belum pernah mengunjungi jemaat di Roma, dan ia ingin singgah di Roma sebelum ia pergi ke Spanyol, yang dianggap sebagai ‘ujung bumi’ saat itu, sebagai wujud pelayanan Injilnya sampai ke ujung bumi (Rm 1:8-15, 15:22-29). Hal ini dapat sedikit menjelaskan mengapa surat Roma terkesan lebih mirip sebuah esai yang terstruktur secara sistematis ketimbang surat dengan nada yang lebih personal, misalnya, kepada jemaat di Korintus.
Selain itu, tersirat bahwa ada sedikit ketegangan antara jemaat yang berlatar belakang Yunani/non-Yahudi dengan yang Yahudi, yang dapat dilihat dari adanya kelompok yang menjaga pantang makanan dan yang tidak, yang menandai hari yang penting dan yang tidak (Rm 14:1-12). Dari konteks sejarah sendiri, Kaisar Klaudius mengusir semua orang Yahudi (termasuk jemaat Kristen yang berlatar belakang Yahudi) dari Roma di sekitar awal dekade 50an Masehi (bdk. Kis 18:2), dan baru kembali pada sekitar 54 Masehi, sebelum surat ini ditulis. Berbagai peristiwa ini dapat menjelaskan mengapa dalam surat ini Paulus mencoba menjelaskan universalitas Injil yang berlaku baik bagi orang Yahudi maupun Yunani/non-Yahudi tanpa terkecuali (Rm 1-3).
Rekonstruksi sejarah semacam ini adalah contoh bagaimana kita dapat mencoba menempatkan sebuah surat dalam konteks historisnya, ketimbang membacanya dengan ahistoris dan memproyeksikan konteks kita sendiri kepada surat tersebut. Selamat membaca! (SH)