Ad Fontes
by GPBB ·
"Ecclesia reformata semper reformanda"
Salah satu peristiwa yang instrumental bagi perkembangan sejarah keagamaan dunia Barat adalah reformasi gereja di abad ke-16. Selain faktor-faktor internal di dalam gereja Barat sendiri, ada beberapa faktor ekesternal yang menjadi latar belakang reformasi, seperti kebangkitan nasionalisme di Eropa, penemuan mesin cetak dan Renaisans.
Mengenai nasionalisme di Eropa, misalnya, sebenarnya sudah banyak keluhan terhadap Roma dan otoritas absolut Paus saat itu, namun masalahnya, sebelumnya tidak ada institusi agama alternatif selain Roma. Karena itu, begitu ada yang alternatif, banyak penguasa lebih leluasa untuk berganti afiliasi, karena ini berarti mereka mendeklarasikan diri lepas dari otoritas Roma, satu hal yang sebenarnya mereka sudah inginkan sejak lama. Saat itu, seringkali pula agama penguasa menjadi agama masyarakat (cuius regio, eius religio – whose realm, his religion).
Mengenai era Renaisans, semangat yang mendasari era ini adalah semangat humanisme, yaitu bahwa manusia memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya sendiri, dimana ada keinginan untuk keluar dari ‘era kegelapan’ dan kembali ke era keemasan peradaban Barat, yang digadang-gadang terjadi pada peradaban Yunani dan Romawi kuno. Semangat ini disimbolkan dengan semboyan ad fontes (lit. kembali ke sumber [air], fountain). Dalam kaitannya dengan Reformasi, ada ketidakpuasan dengan Alkitab edisi bahasa Latin Alkitab (Vulgata), yang menjadi edisi yang resmi digunakan gereja saat itu dan ada keinginan untuk kembali ke naskah-naskah Alkitab dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Dan, tentunya, kita juga dapat melihat bagaimana semangat ad fontes ini terkait dengan semangat kembali ke Alkitab dalam Reformasi. Kemudian, ada aspirasi pula agar umat dapat membaca Alkitab dalam bahasa ibu masing-masing, dan agar ibadah dapat dijalankan dalam bahasa ibu masing-masing. Dua hal ini mungkin terkesan sangat biasa bagi kita sekarang, namun merupakan ide yang revolusioner dan kontroversial saat itu.
Semangat ad fontes inilah yang sepatutnya kita jiwai sebagai gereja yang lahir dari Reformasi. Akan menjadi sangat ironis jika kita hanya meniru apa yang dikatakan oleh bapa-bapa Reformasi. Untuk menjadi gereja yang mewarisi semangat Reformasi justru berarti kita juga harus selalu siap untuk mengkritisi apa yang ditulis oleh pendahulu-pendahulu kita, termasuk bapa-bapa Reformasi itu sendiri, bahwa kita harus selalu siap kembali ke sumbernya yaitu Kristus itu sendiri untuk menjawab tantangan zaman dan tempat kita berada. Ecclesia reformata semper reformanda; gereja yang sudah diperbaharui akan selalu memperbaharui dirinya sendiri! (SH)
Image edit by IY ; Photos by Enrique Hoyos - Pexels