TUHAN MENANGIS DI HARI NATAL
by GPBB ·
“Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Wahyu 3:20)
Saya pernah memimpin kebaktian Natal di salah satu Rumah Tahanan (Rutan) di Jakarta dan di satu rumah rehabilitasi penderita Narkoba di Singapura. Di kedua tempat itu benar-benar terasa Kebaktian Natal tanpa perayaan dan pesta Natal. Sekitar 200 penghuni rutan Kristen berkumpul di aula yang hanya berukuran sekitar 50 meter persegi. Aula sekecil itu tentu tidak mampu menampung orang sebanyak itu sehingga sebagian orang mengikuti kebaktian di luar aula. Sang ketua panitia minta maaf karena keterbatasan aula. Ia berkata, ”Di sini kami harus bisa beraktifitas dengan berbagai keterbatasan.” Maka tepatlah jika temanya ”Natal Dalam Keterbatasan” dikenakan untuk perayaan itu.
Menyimak berbagai perayaan Natal di gereja-gereja maka terlihat jelas perbandingan yang mencolok. Ada gereja yang merayakan Natal dibatasi oleh anggaran, sehingga tempat dan acaranyapun jadi terbatas. Bahkan ada gereja yang karena tidak ada anggaran terpaksa cuma kebaktian saja tanpa perayaan. Tetapi ada banyak gereja yang tidak dibatasi oleh anggaran. Artinya anggaran berapapun akan disetujui. Ada gereja yang anggaran natalnya sangat terbatas, tetapi ada gereja yang anggarannya sampai ratusan juta bahkan milyard-an.
Dan ironisnya dalam kotbah-kotbah natalnya dikatakan bahwa natal harus sederhana. Natal jangan terjebak pada kemeriahan acara, jangan hanya menjalankan tradisi tanpa makna. Padahal, setelah kotbahnya selesai, acaranya meriah luar biasa dengan tata suara, tata cahaya, tata kostum, tata konsumsi dan tata-tata lainnya.
Ada gereja yang sebenarnya mampu merayakan natal dengan biaya berapapun, tetapi mereka tidak lakukan. Anggaran untuk Natal dipakai untuk aksi berbagi berkat untuk mereka yang hina dan kekurangan. Membersihkan rumah kaum termarjinalkan bahkan memperbaiki rumah mereka yang rusak dll.
Sudahkah umat Kristen melupakan makna Natal, Kristus datang untuk menebus dosa manusia, tetapi seringkali umat merayakan Natal dengan menambah dosa. Bukankah Natal, Yesus sedang berdiri di muka pintu hati manusia dan terus mengetuk tetapi tidak ada yang mendengar karena sibuk dan bisingnya telinga manusia dengan berbagai acara, hiruk pikuk persiapan. Kotbahpun kadang tak didengar karena sebagian besar mempersiapkan acara demi acara. Tetapi berbeda dengan Natal di kedua tempat yang saya sebutkan di atas, mereka semua menangis dan mendengar ketukan dan suara Yesus lalu membuka hati mereka untuk bertobat. Air mata tiada henti keluar dari mata mereka walau tidak ada perayaan, dan hadiah natal dll.
Sangat mungkin Tuhan Yesus menangis setiap natal karena tidak ada yang mendengar ketukan-Nya apalagi membukakan pintu bagi-Nya, karena umat-Nya bersenang-senang dalam drama, tari, nyanyi-nyanyi, dansa-dansi, makan-minum dan hura-hura lainnya, lalu setelah usai panitia berkumpul dan berdoa berterima kasih kepada Tuhan karena Natalnya telah berjalan sukses. Oh my God! Yesus kini di muka pintu hati kita, IA sedang mengetuk, bukalah pintu hatimu dan bertobatlah. (J. Theo)