Berkat dan Kutuk
“Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau; Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia; Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.” (Bil 6:24-26) Begitu ucap seorang pendeta ketika ia menyampaikan berkat dari Allah untuk menutup sebuah ibadah. Bagi bangsa Israel, kata ‘berkat’ mengandung makna intimasi dengan Allah yang kuat. Ketika Allah memberkati kita, Allah menghadapkan wajahNya kepada kita. Ada hadirat dan perkenan Allah di sana. Sebaliknya, ‘kutuk’ berarti kondisi dimana Allah memalingkan wajahNya dari kita. ‘Berkat’ berarti adanya persekutuan erat yang terjalin dengan Allah, sementara ‘kutuk’ berarti keterasingan kita dariNya.
Ketika Tuhan memanggil Abraham untuk pergi dari negerinya, Ia berjanji kepadanya untuk menjadikannya menjadi bangsa yang besar dan bahwa olehnya semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat (Kej 12:1-3). Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, kita hidup terasing dari Allah, yang disimbolkan lewat diusirnya Adam dan Hawa dari Taman Eden (Kej 4:23-24). Lewat perjanjianNya dengan Abraham ini, Allah berjanji bahwa seluruh bumi akan dapat bersekutu kembali dengan penciptaNya. Namun kenyataan yang ada jauh dari janji Allah ini. Bukannya menjadi berkat bagi segala bangsa, bangsa Israel justru tumbuh menjadi kaum yang eksklusif terhadap bangsa lain. Bukan hanya terasing dengan Allah, bangsa Israel malah menjadi terasing pula dengan bangsa-bangsa lain.
Namun Allah adalah Allah yang setia terhadap janjiNya. PekerjaanNya tidak akan gagal meskipun menemui hambatan demi hambatan. Kedatangan Kristus akan menggenapi janji Allah kepada Abraham ini. Namun, penggenapan ini datang dengan sebuah twist: Kristus menjadi kutuk di kayu salib supaya berkat Abraham ini dapat sampai kepada bangsa-bangsa lain (Gal 3:13-14). Inilah paradoks dan misteri yang terbesar, yang secara akal sulit kita mengerti. Kristus perlu menjadi kutuk, supaya berkat Allah dapat sampai kepada kita semua.
Dalam hidup kita, terkadang tidak mudah untuk menjadi berkat bagi orang di sekeliling kita. Kita bisa disalah-mengerti dan dikira yang tidak-tidak ketika kita mencoba untuk berbuat baik bagi sesama kita. Lebih dari itu, seringkali kita juga mesti mengorbankan diri kita demi menjadi berkat. Namun, marilah kita tidak tawar hati ketika menemui berbagai tantangan ini. Sebaliknya, meneladani Kristus, marilah kita terus memberikan diri kita supaya berkat dari Allah dapat sampai kepada orang-orang di sekitar kita. Terpujilah nama Tuhan! (SH)