DUA ORANG ANAK
(image from: http://www.eugene-burnand.com)
Jika dibaca sesuai dengan kesaksian Injil Matius, perikop kita hari ini berada dalam rentang kisah mulai dari pasal 21:23 sampai dengan pasal 22:14. Sebelumnya, Tuhan Yesus mengusir para penukar-penukar uang di bait Allah. Bukan karena semata-mata perilaku mereka mencemarkan rumah Allah yang kudus, tetapi sikap hati yang serakah dan menindas sesama dalam praktik jual beli (mata uang dan hewan kurban) merupakan kekejian di mata Tuhan, dan semua itu dilakukan persis di halaman Bait Allah yang kudus![1] Tetapi sayang sekali orang-orang Farisi (yang tergabung dalam imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi [Mat.21:45]) yang memang mencintai uang itu (Luk.16:14) tidak eling lan waspodo terhadap dosa yang menguasai hati mereka. Mereka malah mempertanyakan kuasa (baca: wewenang dan otoritas) Yesus (Mat.21:23). Dengan bijak Tuhan menjawab dengan mengaitkan baptisan Yohanes (ay.25). Sederhananya, baptisan Yohanes terhadap Tuhan Yesus yang dilakukan di depan mata orang banyak seharusnya cukup menjawab bahwa otoritas Yesus adalah dari Allah Bapa, apalagi ditambah dengan afirmasi surgawi (Mat.3:17). Semua ini seharusnya mengakhiri debat berkepanjangan antara Farisi dengan Yesus. Tetapi para pemimpin Yahudi ini tetap berkelit. Maka Tuhan Yesus menegur mereka dengan tiga rangkap perumpamaan: perumpamaan tentang dua orang anak (ay.28-32), perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (ay.33-46), dan perumpamaan tentang perjamuan kawin (ps.22:1-14). Renungan kali ini hanya akan membahas perumpamaan yang pertama.
Perumpamaan yang pertama disebut juga sebagai pretend obedience versus delayed obedience. Kebun anggur adalah gambaran bangsa Israel (Yes.5:1-7). Anak yang sulung (pretend obedience) menggambarkan sikap hati para pemimpin Yahudi dan orang-orang Farisi yang tidak bertobat dan tidak percaya kepada Kristus (Mat.3:2,32); sedangkan anak yang kedua (delayed obedience) merujuk kepada para pendosa yang sekalipun terkesan terbuang dari masyarakat, namun mereka pada akhirnya percaya kepada Yesus dan bertobat (ay.32). Perumpamaan yang pertama ini sudah berbicara dengan cukup lugas kepada para pemimpin agama dan kaum religius pada waktu itu. Status keagamaan mereka jadikan sebagai ‘aksesoris religius’ untuk mempercantik kehidupan sosial dan bermasyarakat. Tetapi kehidupan batiniah yang terdalam tiada pertobatan dan perubahan untuk sungguh-sungguh mengikut Yesus.
Teguran ini masih sangat relevan sampai sekarang. Tuhan memperhatikan bukan sekedar penampilan ibadah, dalam arti kesibukan agamawi kita, tetapi justru kehidupan batiniah yang tampak dan terbukti dalam kasih dan perilaku kita kepada sesama. Spiritualitas yang Yesus inginkan bukanlah spiritualitas kulit dan aksesoris. Yang Ia dambakan adalah spiritualitas yang terwujud dalam buah Roh yang sejati, dan ini dapat dirasakan dampaknya oleh orang-orang yang hidup di sekitar kita. Ini yang tidak dilakukan oleh para kaum religius di masa lalu (dan celakanya, terkadang sampai di masa kini).
Namun, suara lembut Tuhan Yesus terus memanggil kita untuk berbalik dan bertobat. Ia juga memberikan Roh Kudus yang memampukan kita memiliki hidup yang berbuah dan berdampak (Gal.5:22-23). Mari mengikut Dia, bukan hanya dengan kata, tetapi karsa, karya dan daya. Mengikut Dia bukan hanya pada hari Minggu, tetapi setiap hari sampai Ia datang kembali. Tuhan Yesus memberkati (yj).
[1]Bandingkan Renungan Gempita 10 Maret 2017, “Yesus Menyucikan Bait Allah (1).”