Kasih yang Tak Berbatas
Karena warisan Perang Dingin dan berbagai embargo dari Amerika Serikat kepada Kuba sejak tahun 1960an, sangat mudah sekali untuk melihat Kuba sebagai negara yang asing dan bahkan terkesan buruk, apalagi untuk generasi saat ini yang tidak tahu apa yang terjadi pada waktu itu.
Namun, ada yang menarik dari kunjungan Paus Fransiskus kepada Fidel Castro minggu lalu di Havana. Paus Fransiskus memberikan sebuah buku dan dua buah CD yang berisi khotbah dan lagu dari Pastur Armando Llorente, yang merupakan guru sekolah dan mentor dari Castro di Belen Jesuit Preparatory School, tempat ia bersekolah sampai usia 16 tahun. Pastur Llorente mengatakan bahwa Castro adalah murid terbaiknya, dan mempunyai banyak sekali teman.
Pada bulan Desember 1958, saat Revolusi Kuba yang dipimpin oleh Castro sedang berlangsung, Pastur Llorente sempat berbicara dan menemui Castro. Castro lalu mengatakan bahwa dia sudah kehilangan imannya. Pada tahun 1961, Pastur Llorente diasingkan ke Miami, Florida karena ditutupnya Ordo Jesuit di Kuba oleh Castro. Tiga tahun sebelum akhir hidupnya, dalam sebuah wawancara pada tahun 2007, Pastur Llorente masih juga sempat berbicara mengenai Castro bahwa dia ingin pergi ke Kuba saat itu juga, untuk mendengar pertobatan Castro sebagaimana yang ia terus impikan selama ini, dan memintanya untuk meminta maaf kepada banyak orang atas kesalahannya.
Kita bisa merelasikan kasih Pastur Llorente ini dengan betapa kasih bisa sungguh tidak berbatas. Dalam hidup pasti kita bertemu dengan orang tertentu atau kelompok tertentu yang tidak menyukai kita. Ketika kita menghadapi situasi seperti ini, kita mungkin berpikir bahwa kita tidak mungkin bisa mengasihi mereka. Bagaimana bisa, seperti apa yang terjadi dengan Pastur Llorente, seorang guru yang pernah mendidik muridnya, diusir oleh muridnya sendiri. Dalam situasi seperti itu, lebih mudah untuk mundur dan memutus hubungan dengan orang yang pernah menyakiti kita. Namun, Pastur Llorente menunjukkan bahwa ada jalan lain yang lebih mulia, yaitu untuk tetap mengulurkan tangan kita kepada orang-orang yang telah menyakiti dan bahkan menolak kita, sama sebagaimana Tuhan Yesus berdiri di muka pintu dan terus mengetuknya, siap menyambut kita dengan tangan terbuka sekiranya kita mau membuka pintu tersebut bagiNya (Why 3:20). (SBW)