Polis
“Dan aku melihat kota (polin) yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.” (Why 21:2)
Kata ‘politik’ berasal dari kata politika dalam bahasa Yunani yang berarti ‘hal-hal yang berhubungan dengan warga negara / negara’, dimana kata politika sendiri berakar dari kata polis yang berarti kota / negara-kota. Dengan kata lain, politik berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang memengaruhi orang banyak.
Di zaman gereja mula-mula, belum ada sistem kesejahteraan sosial yang diatur oleh negara. Karena itu, sejak awal gereja mula-mula memulai kebijakan-kebijakan untuk membantu anggota jemaat yang berkekurangan, misalnya kepada janda-janda (Kis 6:1, 1 Tim 5:3-16). Dengan demikian, gereja sendiri adalah sebuah polis yang mewujudkan keadilan sosial bagi warganya. Rasul Paulus menulis, “kewargaan (politeuma) kita adalah dari surga.” (Fil 3:20) Gereja adalah kota / polis surgawi di bumi, dimana gereja dipanggil untuk menghadirkan realita surgawi saat ini sembari menantikan kedatangan Yesus Kristus untuk menggenapkan realita tersebut sepenuhnya (Why 21:2).
Setelah kerajaan Romawi runtuh, gereja mengisi kekosongan sistem kesejahteraan sosial saat itu. Gereja mendirikan sekolah, universitas, rumah sakit, dan pada akhirnya menjadi pengaruh utama bagi pertumbuhan peradaban Barat saat itu. Sistem kesejahteraan sosial yang dibangun oleh gereja memengaruhi pandangan bagaimana negara sepatutnya memiliki tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial bagi warganya.
Di sisi lain, teolog Stanley Hauerwas menulis betapa gereja di Amerika Serikat saat ini telah kehilangan identitasnya sebagai polis. Gereja terlalu terfokus untuk berpolitik praktis untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan publik, sampai-sampai ia tidak menyadari identitasnya sebagai sebuah polis, seolah-olah gereja hanya bisa memiliki pengaruh jika ia memiliki kekuasaan politik.
Hingar bingar politik Indonesia saat ini membawa gereja berpartisipasi secara lebih aktif dalam politik. Hal ini baik, karena gereja yang mengasingkan diri dari dunia tidak dapat menjadi garam dan terang dunia. Namun, di sisi lain, Hauerwas juga mengingatkan kita bahwa gereja pada dasarnya adalah sebuah polis, bahwa tanpa kekuasaan pun gereja memiliki mandat yang sama untuk berkarya bagi sesama. (SH)