Maria Magdalena
Maria Magdalena adalah salah satu murid Yesus mula-mula yang menyertai Yesus dalam pelayananNya. Injil Lukas mencatat, Maria Magdalena bersama dengan beberapa perempuan lainnya termasuk di dalam rombongan pelayanan Yesus (Luk 8:1-3). Ada yang berpendapat bahwa Maria Magdalena adalah perempuan berdosa yang mengurapi Yesus di Luk 7:36-50, atau Maria saudara Marta, namun tidak ada ada indikasi yang pasti mengenai hal ini. Yang pasti adalah Maria memang adalah nama yang sangat umum bagi perempuan Yahudi saat itu (bentuk Yunani dari Miriam), karena itu wajar jika kita menemukan banyak figur dengan nama ‘Maria’ di Perjanjian Baru.
Keempat Injil mencatat Maria Magdalena sebagai figur pertama yang menyaksikan kubur kosong Yesus (Mat 28:1, Mrk 16:1, Luk 24:10, Yoh 20:1), dimana Maria kemudian menyampaikan berita ini kepada murid-murid Yesus yang lain. Dengan kata lain, kesaksian Maria merupakan salah satu kunci penting dalam narasi kebangkitan Yesus. Yang menarik adalah dalam hukum Yahudi saat itu perempuan tidak dianggap sebagai saksi yang valid. Mishnah (Taurat lisan tradisi Yahudi) Shevuot 4:1, misalnya, berkata bahwa “Sumpah kesaksian dilakukan oleh pria dan bukan oleh wanita”, dimana perkataan ini kemudian dijabarkan kembali dalam Talmud (penjelasan dari Mishnah) sebagai berikut, “Dari mana kita tahu kemudian? Karena rabi-rabi kita mengajarkan: ‘Kedua laki-laki yang mempunyai perkara itu haruslah berdiri di hadapan TUHAN.’ (Ul 19:17)” Dengan kata lain, jika gereja mula-mula ingin membuat kisah yang mengada-ada mengenai kebangkitan Kristus, mereka tidak akan menempatkan Maria Magdalena sebagai tokoh utama dan pertama yang menemukan kubur kosong tersebut, karena dengan demikian mereka justru beresiko melemahkan validitas kisah tersebut di mata orang Yahudi. Jika gereja mula-mula ingin membuat kisah yang mengada-ada, mereka akan memilih figur yang lebih kredibel di mata orang Yahudi seperti seorang pria sebagai saksi pertamanya.
Karena peran krusialnya dalam peristiwa kebangkitan Kristus, Maria Magdalena mendapatkan gelar ‘rasul kepada para rasul’ oleh gereja mula-mula. Terlepas dari stigma terhadap perempuan saat itu, ialah yang menjadi saksi pertama yang menyampaikan berita kesukaan ini kepada rasul. Hal ini mengingatkan kita kepada pernyataan rasul Paulus di suratnya kepada jemaat di Korintus, yaitu bahwa Allah dapat memilih siapapun, bahkan yang mungkin dianggap tak terpandang atau yang hina atau yang tak pantas di mata dunia, untuk mewujudkan pekerjaanNya (bdk. 1 Kor 1:18-31). Karena itu, pertanyaan yang sepatutnya kita renungkan adalah, terlepas dari apapun status kita di mata dunia, siapkah dan bersediakah kita menjadi saksiNya jika Allah memanggil kita? (SH)